Hukum Progresif Terkait Penerapan Artificial Intelegence Dalam Perbankan
Industri jasa
keuangan dituntut untuk berubah dan bertransformasi dalam menghadapi distrupsi
digital dan persaingan dengan perusahaan fintech. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan ialah dengan memanfaatkan bigdata dan juga Artificial Intelligent
(AI). Sistem Artificial Intelligence (AI) yakni kecerdasan buatan yang
dimasukkan ke dalam suatu mesin atau komputer agar bisa melakukan pekerjaan
seperti yang bisa dikerjakan oleh manusia. Seperti kemampuan untuk menjawab
diagnosa dan pertanyaan pelanggan, perencanaan dan penjadwalan, pengendalian,
serta pengenalan tulisan tangan, suara dan wajah.
Hal ini
menantang banyak lembaga keuangan seperti Bank untuk mengembangkan bisnis model
tersebut. Namun bukan hanya industri keuangan tradisional, para startup melihat
ini sebagai peluang untuk masuk dalam industri layanan keuangan. Jenis startup
dibedakan menjadi dua, yaitu ecommerce dan financial technology (fintech). Fintech
diakui sebagai salah satu inovasi paling penting dalam industri keuangan dan berkembang
dengan cepat, didorong sebagian oleh sharing economy, regulasi, dan teknologi informasi.
Seperti halnya Bank, model bisnis perusahaan FinTech juga fokus pada layanan
pembayaran dan pinjaman. Mereka juga mencakup layanan konsultan keuangan pribadi,
crowdfunding, mata uang virtual, InsurTech, RegTech, BigData, dan keamanan
(misalnya keamanan cyber). Penggunaan AI dapat memberikan berbagai manfaat dan
kelebihan dibandingkan dengan tenaga manusia. Namun dirinya meyakini bahwa
walau perusahaan menerapkan teknologi AI penerapan tenaga manusia masih tetap
dibutuhkan.
Perkembangan
teknologi kecerdasan buatan yang semakin canggih membuat timbulnya
kegelisahan-kegelisahan pada ranah hukum di seluruh dunia sehingga diperlukan
kajian hukum terkait dengan teknologi ini. Salah satu pemikiran yang penulis
anggap menarik dan penulis ingin gunakan sebagai pisau analisis untuk mengkaji
perkembangan teknologi kecerdasan buatan adalah gagasan hukum progresif atau
teori hukum progresif dari Satjipto Rahardjo.
Teori ini
dapat dijadikan pisau analisis karena fokus utama dari perspektif hukum ini
adalah pada manusia (antroposentris), bukan undang-undang, benda ataupun
institusi. Fenomenologi dari hukum progresif yaitu sebuah pola piker yang tak
semata-mata bertumpu pada objektivitas semata atau tidak hanya memandang dari
suatu gejala yang tampak, akan tetapi berusaha menggali makna di belakangnya.
1.
Hukum
Progresif
Hukum
progresif adalah hukum yang bersifat maju ke depan mengikuti perkembangan zaman
dan kehadiran hukum tersebut untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
kepentingan-kepengingan yang bias berbenturan antara kepentingan satu dan
kepentingan yang lain. Beberapa karakteristik dasar teori hukum progresif yang
dihimpun oleh Yudi Kristina dalam disertasinya adalah :
a.
hukum
progresif memiliki asumsi dasar bahwa hukum untuk manusia dan bukan sebaliknya
manusia untuk hukum.
b.
hukum
bukan institusi yang mutlak dan final, karena hokum selalu berada dalam proses
untuk terus menerus menjadi (law as process, law in the making).
Asumsi dasar
yang diajukan oleh hukum progresif tersebut membawa konsekuensi bahwa hukum
tidak hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan
lebih besar.
Cara berhukum
secara progresif tidak sekedar menerapkan hokum positif legalistis, kemudian
menerapkan undang-undang, lalu membaca dan mengeja undang-undang serta
menerapkannya seperti mesin, melainkan suatu aksi atau usaha (effort).
Konstruksi berpikir filsafat berdasar pada 3 (tiga) landasan berpikir yang
meliputi landasan berpikir ontologis, epstemologis dan teleologis. Landasan
ontologism berkaitan dengan realitas atau kenyataan yang menjadi objek kajian.
Landasan
epistemologis berkaitan dengan metode yang dapat dan tepat diterapkan dalam
rangka pengembangan pemikiran terkait objek kajian ke masa depan. Adapun
landasan aksiologis dan teleologis berkaitan dengan masalah nilai yang
terkandung di dalam pemikiran, kosep, teori serta tujuan yang hendak diwujudkan
melalui pemanfaatan pemikiran dan konsep.
Dalam dunia
Perbankan khususnya, sudah banyak memakai Artificial Intelegence (AI), seperti
BCA ada Vira, BNI ada Cinta dan Lena, di BRI ada Sabrina, HSBC ada Amy, OCBC ada Emma.
Nama-nama
tersebut merupakan chatbot yang sudah diimplementasikan di perbankan di
Indonesia. Chatbot ini merupakan teknologi yang dapat bertindak "seolah-olah"
seperti manusia dalam menangani nasabah.
2.
Tentang
Artificial Intelegence dalam Perbankan.
Konvergensi teknologi informasi ke dalam dunia
perindustrian telah melahirkan Revolusi Industri 4.0. Konvergensi tersebut
dimotori oleh beberapa perkembangan teknologi seperti Internet of Things (IoT),
block chain, artificial inteligence (AI) atau kecerdasan buatan, big data,
cloud computing, 3D printing. 2 (dua) teknologi teratas yang disebut
mempengaruhi revolusi industri keempat adalah block chain dan kecerdasan
buatan. Kecerdasan buatan sendiri adalah aktivitas yang dikhususkan untuk
membuat mesin cerdas, dan kecerdasan itu memungkinkan suatu entitas berfungsi
dengan tepat serta memiliki pandangan jauh ke depan berdasar pada
lingkungannya.
Kecerdasan buatan semakin banyak diterapkan di bidang
Perbankan, alat seperti resiko kredit, memberikan unsecured loan kepada
nasabah, serta automatic chatbot. Kecerdasan buatan dapat mencakup pembelajaran
mesin, pemrosesan bahasa alami, sistem pakar, visi, pidato, perencanaan, dan
robot. Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasaran buatan adalah kecerdasan
manusia yang diimplementasikan ke dalam teknologi atau mesin. Sebuah mesin
dikatakan mempunyai AI jika dia dapat menunjukkan kecerdasannya meniru fungsi
kognitif manusia tanpa intervensi dari manusia.
Machine Learning (ML) merupakan sebuah terminologi yang
tidak bisa dilepaskan dari AI karena ML merupakan bentuk aplikasi AI dimana
mesin mempelajari data dengan mempergunakan metode statistik kemudian melakukan
sebuah pekerjaan tanpa diprogram terlebih dahulu. AI atau ML pada prinsipnya
tidak menggantikan pekerjaan manusia. AI atau ML difungsikan untuk
menyelesaikan pekerjaan2 yang mudah dan repetitif sementara manusia bisa lebih
fokus menangani persoalan-persoalan yang lebih kompleks. Pada pekerjaan
customer service seperti contoh di atas tadi, AI pada chatbot dapat membantu
manusia untuk menjelaskan prosedur yang mudah seperti blok kartu, mengecek
saldo, melihat status aplikasi nasabah dan sebagainya. Sementara customer service
dapat fokus pada pekerjaan yang lebih kompleks misalnya memutuskan corporate
loan dan menganalisa profile resiko nasabah.
Berikut adalah bentuk
pemanfaatan penerapan AI atau ML dalam dunia Perbankan, yaitu :
a.
Chatbot
dan Virtual Assistant
Bank
mempergunakan chatbot (semacam layanan text) dan voice bots (dengan suara)
untuk menyelesaikan masalah. Biasanya teknologi yang terlibat disini adalah
Natural Language Processing.
b.
Profiling
Nasabah
Bank
dapat melakukan melakukan komunikasi dan mengambil keputusan berdasarkan profil
detail setiap nasabah. Keputusan diambil tanpa campur tangan manusia. AI
mempergunakan data yang terstruktur maupun tidak terstruktur untuk melihat profile customer. Dengan
teknologi ini Bank mampu mengukur resiko mereka terhadap nasabah dan ini akan
memunculkan banyak produk yang bisa ditawarkan seperti loan dan kartu kredit.
c.
Menyederhanakan
proses
Proses
yang sifatnya "low value" dan repetitif dapat diserahkan ke pada AI
karena AI dilengkapi dengan pengetahuan terkait dengan regulasi dan peraturan
perundangan yang berlaku. Lebih jauh lagi AI/ML dapat digunakan untuk
memprediksi kemungkinan kegagalan dari sebuah system, hal ini membuka
kemungkinan untuk tidak diperlukannya preventive maintenance.
d.
Mendeteksi
pola
AI
dapat mendeteksi pola dan anomali terkait transaksi yang terindikasi fraud atau
pencucian uang (money laundering). Face dan Voice recognition dapat digunakan
untuk mendeteksi pelaku fraud. Data juga dapat digunakan untuk menemukan use
case dan bisnis insight baru terkait dengan resiko dan kesempatan berinvestasi.
Teknologi yang digunakan adalah Machine learning yang dapat membersihkan
unstructured data dari noise yang terjadi di dalam data. Complex image
recognition dapat digunakan untuk mengidentifikasi orang dan barang.
3. Pembahasan
Tentang Hukum Progresif terkait Artificial Intelegence dalam Perbankan.
Di satu sisi terdapat pemikiran bahwa, robot dapat
mengambil sebuah keputusan otonom (autonomous decisions) melalui teknologi
dalam dirinya yang bertumbuh dengan sendirinya dengan cara sistem robot akan
berevolusi otomatis mengikuti dunia manusia, maka mungkin saja tindakan robot
dapat membahayakan manusia dan masyarakat luas. Namun disisi lain terdapat
pendapat yang menyatakan bahwa robot hanyalah menstimulasikan perilaku manusia
dan tidak dapat dianggap sebagai "sepenuhnya manusia", sehingga tidak
diperlukan entitas hukum dan pengaturan hukum untuk teknologi kecerdasan
buatan. Adapun yang menjadi kepercayaan umum yang berkembang saat ini adalah bahwa
robot harus diperlakukan hanya sebagai mesin semata, dan robot diciptakan untuk
melayani umat manusia dalam peran itu. Namun apabila dilihat dari sudut pandang
hokum, apakah robot merupakan subjek hokum?, darisanalah timbul berbagai
pemikiran bahwa semua tidak dapat dilakukan oleh robot.
Jika melihat pada hukum progresif maka pemikiran hukum
perlu kembali ke filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofi
tersebut (individual), dianggap menjadi penentu dan titik orientasi hukum
progresif. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya, sehingga hukum
bukan institusi yang terlepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan
hukum progresif menganut ideologi yaitu hukum yang pro keadilan dan hokum yang
pro rakyat.
Pada saat ini kita belum sepenuhnya memahami teknologi
kecerdasan buatan. Sebuah pemikiran penting yang menjadi tonggak awal suatu
hubungan antara kepentingan manusia dan robot adalah pemikiran, apakah robot
dapat dijadikan subjek hokum atau tidak. Penentuan subjek hukum tentunya akan
menimbulkan implikasi hukum dan sebagai dasar simbiosis antara robot dan
manusia di masa depan. Namun, masyarakat kita tentunya belum siap sepenuhnya
untuk perubahan paradigma ini karena akan muncul banyak aspek yang terkait
antara hukum dan masyarakat, yang tentunya akan sangat rumit jika teknologi
robotika berkembang sangat pesat.
Secara keseluruhan yang harus dipertimbangkan adalah
bahwa hokum seharusnya bersifat proaktif dan idealnya regulasi tersebut dibuat
sebagai tata cara awal untuk mencegah terjadinya masalah (bersifat preventif).
Oleh karena itu tidak disarankan untuk menunggu sampai masalah muncul yaitu
ketika terjadi pemanfaatan besar-besaran teknologi robot dan kemudian baru
mencari hukumnya, bagaimana kebijakannya atau tindakan apa yang harus dilakukan
dalam masyarakat untuk dapat menjalin simbiosis mutualisme dengan robot.
Pembentukan hukum merupakan suatu aktivitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu di
masyarakat. Nantinya jika teknologi kecerdasan buatan mampu berkembang pesat di
Indonesia, maka jika meninjau teori hukum progresif, Negara dan Stakeholder
hendaknya mendorong lahirnya perundangan baru yang berdasar pada keinginan
menuju tujuan sosial yang dikehendaki masyarakat, dalam artian tidak begitu
saja pemerintah dan lembaga legislatif secara serta merta membuat peraturan
terkait kecerdasan buatan namun aturan tersebut juga harus bersifat bottom up
yaitu mendengar aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Berdasar pada pemikiran hukum progresif diatas maka
kajian tentang hukum progresif perlu dipertimbangkan sebagai bahan dalam
membentuk hukum terkait teknologi kecerdasan buatan yang diharapkan akan
bermanfaat bagi manusia dan bagi perkembangan teknologi itu sendiri, sehingga
yang wajib menjadi perhatian yaitu jangan sampai teknologi kecerdasan buatan
yang seharusnya menjadi alat kemanusiaan untuk melepaskan diri dari perbudakan,
justru hal tersebut berubah menjadi suatu mekanisme yang memperbudak manusia
sendiri (dehumanisasi).
Sistem hukum yang ada dan berlaku saat ini dibuat untuk
manusia, dan berfungsi untuk melindungi hak-hak manusia. Sistem hukum yang ada
juga dibangun di sekitar kemampuan manusia dan pada dasarnya bertujuan untuk
melindungi manusia dari penderitaan. Ini menyiratkan kemampuan subjek hokum
yang ada saat ini tidak hanya mampu merasakan sakit, tetapi juga menyadari akan
rasa sakit sehingga hal tersebut dimasukkan dalam pertimbangan saat proses pengambilan
keputusan atau rekonstruksi sebuah aturan.
Dalam hukum progresif, teknologi harus dimaknai tidak
semata-mata sebagai teknologi, melainkan teknologi yang dihasilkan harus mampu
mengekspresikan nilai dan moral di dalamnya. Selain itu, pada akhirnya jika
mendasarkan pada hukum progresif maka hukum yang diciptakan terkait teknologi
kecerdasan buatan harus berbasis pada manusia dan kemanusiaan, yaitu mampu
menolong manusia yang susah dan juga menderita, yang bertujuan mewujudkan
keadilan yang membahagiakan bagi masyarakat.
Komentar
Posting Komentar