Aspek Hukum Crowdfunding dalam Dunia Pasar Modal



  Perkembangan dunia usaha berkembang pesat. Salah satu bentuk kegiatan usaha yang telah hidup di masyarakat dan telah berkembang salah satunya adalah crowdfunding. Crowdfunding merupakan salah satu alternatif pendanaan dimana sekelompok orang berkontribusi untuk mendanai suatu proyek, hutang, atau donasi. Hal ini terbukti dengan menjamurnya keberadaan berbagai jenis fintech di Indonesia, salah satunya equity-crowdfunding. Baru-baru ini dikeluarkan payung hukum terkait equity-crowdfunding yang dituangkan melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37 tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi.
  Crowdfunding merupakan suatu kegiatan penggalangan dana dengan menggunakan fasilitas internet atau media lainnya untuk membiayai usaha orang-perseorangan, perusahaan atau donasi. Salah satu jenis crowdfunding adalah equity-based crowdfunding, kegiatan yang menawarkan saham kepada pemberi modal melalui sistem penyelenggaraan elektronik.

Pengertian Pasar Modal.
      Pasar modal mempertemukan pemilik dana dengan pengguna dana untuk tujuan investasi sebagaimana di atur dalam pasal 1 angka 13 undang-undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Kedua pihak melakukan jual beli modal yang berwujud efek. Modal atau dana yang diperdagangkan dalam pasar modal diwujudkan dalam bentuk surat berharga atau efek yang berupa saham, obligasi atau sertifikat atas saham atau dalam bentuk surat berharga lainnya atau surat berharga yang merupakan derivatif yang diperjual-belikan di pasar modal tersebut. 

Pengertian Crowdfunding.
  Crowdfunding adalah suatu kegiatan dimana orang-perorangan, organisasi, maupun perusahaan, dapat menggalang dana dengan memanfaatkan internet (atau media lainnya yang memfasilitasi jumlah massa yang sangat luas) untuk membiayai usaha mereka masing-masing sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 1 POJK nomor 37 tahun 2018 2018 tentang Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. 

Pengguna Equity-Based Crowdfunding  yaitu  penerbit dan pemodal.
       Penerbit adalah badan hokum di Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas yang menawarkan saham melalui Penyelenggara. Syarat sebagai penerbit adalah penerbit bukan merupakan perusahaan yang dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh suatu kelompok usaha atau konglomerasi, bukan merupakan perusahaan terbuka atau anak perusahaan terbuka, dan bukan merupakan perusahaan dengan kekayaan lebih dari Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan.

     Pemodal adalah pihak yang melakukan pembelian saham Penerbit melalui Penyelenggara. Pemodal merupakan badan hukum atau pihak yang mempunyai pengalaman berinvestasi di pasar modal yang dibuktikan dengan kepemilikan rekening Efek paling sedikit dua tahun sebelum penawaran saham. Pemodal dengan penghasilan hingga Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) per-tahun hanya dapat memiliki saham hingga 5% per-tahun, sedangkan penghasilan lebih dari Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) per-tahun, pemodal dapat memiliki saham hingga 10% per-tahun.

Pranata Hukum tentang Equity-Based Crowdfunding dalam Psar Modal.
   Bahwa berdasarkan definisi pasar modal dalam pasal 1 angka 13 Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, terlihat bahwa hanya memberikan definisi yang sempit terhadap pasar modal. Kegiatan Penawaran Umum seakan menjadi fokus utama dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal. Apabila dilihat kembali pengertian pasar modal, pasar modal adalah suatu tempat atau sistem dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dana untuk kapital suatu perusahaan, merupakan pasar tempat orang membeli dan menjual surat efek yang baru dikeluarkan. Oleh karena itu, tempat dilakukannya perdagangan efek seharusnya tidak bisa hanya mengacu kepada kegiatan penawaran umum, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal.
   Lebih lanjut, bahwa Pasal 6 Undang-Undang nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyatakan bahwa pengaturan dan pengawasan oleh OJK salah satunya adalah dalam kegiatan jasa keuangan di sector pasar modal. Definisi pasar modal berdasarkan UU OJK juga diatur secara sempit dan mengacu pada ketentuan dalam UU Pasar Modal. Namun, berdasarkan Pasal 4 POJK 37/2018, kegiatan Equity-Based Crowdfunding (ECF) dimasukkan sebagai kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal.
   Equity-Based Crowdfunding (ECF) berurusan dengan perdagangan efek yang dalam hal ini adalah saham. ECF menggunakan sistem elektronik untuk mencocokkan pemodal dan pengusaha. Pihak penyelenggara menyediakan jalan dimana perusahaan penerbit saham dapat mengumpulkan dana dari pemodal untuk memperluas bisnis mereka. Pemodal menerima ekuitas sebagai imbalan dari dana mereka, dan ketika mereka membeli ekuitas atau saham yang ada, hukum efek atau pasar modal mengatur transaksi tersebut.
   Pada esensinya kegiatan ECF ini merupakan bentuk Mini Initial Public Offering (Mini IPO). Mini IPO ini berfungsi agar usaha kecil dan menengah maupun startup tidak perlu memperoleh perizinan untuk dapat memperoleh dana dari masyarakat. Opsi finansial ini telah membuka pintu bagi para perusahaan pemula untuk mengumpulkan dana tidak hanya dari pemodal yang terakreditasi tetapi juga dari pemodal yang tertarik untuk mendanai perusahaan baru yang mereka dukung. Dengan adanya konsep penawaran dengan yang bukan berbentuk penawaran umum ini dan telah berkembang menjadi adanya bentuk penawaran saham dengan bentuk mini IPO atau ECF tentu menjadi pertanyaan akan eksistensinya dalam ketentuan yang ada pada konteks pasar modal dalam UU Pasar Modal.
   POJK 37/2018 memberikan syarat jumlah total dana yang dihimpun melalui penawaran saham paling banyak Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Penerbit juga tidak diperbolehkan berbentuk perusahaan terbuka atau merupakan anak perusahaan terbuka dan penerbit tidak boleh memiliki aset lebih dari Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah). Berbeda dengan penawaran umum di pasar modal, contohnya untuk melakukan pencatatan di pasar utama, laporan keuangan auditan perusahaan terakhir harus memiliki aset berwujud bersih paling kurang Rp100.000.000.000,- (satu triliun rupiah) dan sudah melakukan kegiatan operasional minimal 36 bulan.
   Dari adanya penyelenggaraan ECF diharapkan dapat mendorong peningkatan industri tersebut sebagai layanan penyediaan modal usaha bagi usaha kecil dan menengah maupun startup. ECF memberikan konsep baru terkait kegiatan penawaran saham dan secara filosofi merupakan bagian dari pasar modal. Maka dari itu, kegiatan ECF mempunyai hakikat dari pasar modal itu sendiri. Sehingga, pada intinya bahwa ECF berurusan dengan perdagangan efek yang dalam hal ini adalah saham.
   OJK juga memasukkan ECF sebagai kegiatan jasa keuangan dalam sektor pasar modal dalam POJK 37/2018. Namun, sangat disayangkan dan menjadi pertanyaan apabila definisi pasar modal pada UU Pasar Modal sebagaimana ditegaskan kembali pada UU OJK, yang seharusnya menjadi acuan POJK 37/2018 terkesan hanya mencakup kegiatan penawaran umum dan perdagangan efek sebagaimana yang diatur dalam UU Pasar Modal. UU Pasar Modal Pengertian akan konsep dari pasar modal ini sendiri haruslah dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang ada. Hal ini guna memberikan kepastian hukum terhadap setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tentang Kami

Utilitarianisme, Ekonomi, dan Teori Hukum